Jumat, 18 Mei 2012


Battlefield 2 adalah game first person shooter populer pada tahun 2005 yang di kembangkan oleh Digital Illusions dan di publikasikan oleh EA Games. Game Battlefield 2 juga punya sentuhan strategi dan RPG(Role Playing Strategy).


Battlefield 2 adalah game full ke 3 dalam serial game Battlefield. Pertama kali di rilis pada 21 Juni, 2005 hanya untuk Platform Microsoft Windows.

Game ini menggunakan mesin Refractor 2. Game ini dapat dimainkan dengan single player dan multiplayer, dan dapat dimainkan via internet maupun jaringan LAN (LAN). Battlefield 1942 dan Battlefield Vietname adalah 2 game yang dirilis sebelum Battlefield 2.


Dan Sistem yang diperlukan untuk memainkan Game Battlefield 2 atau minimum system requirement adalah:

CPU: 1.7 Ghz
RAM: 512 Mb
Video Card: NVidia GeForce FX 5700, ATI Radeon 8500 or ATI Radeon 9500
Dengan 128 Mb RAM

Dan sistem yang direkomendasikan untuk kualitas terbaik Game Battelfield 2:

CPU: 2.4 Ghz
RAM: 1 Gb
Video Card with at least 256 Mb of RAM
Operating System:
Windows XP (32 Bit Version)

Karena masalah copy-right maka link download saya hapus, jika ingin main game ini maka beli cd nya atau kunjungi situsnya di alamat berikut.

http://www.battlefield.com/battlefield-2
Read More ->>

Kamis, 17 Mei 2012

Review Game PES 2012


Sekedar info tentang PES 2012,PES 2012 ini adalah penyempurnaan dari edisi sebelumnya, tapi ada kabar bahwa PES 2012 ini memiliki Grafis yang sangat natural seperti kita menonton pertndingan aslinya tapi kita kendalikan dengan controler, hebat bukan?? walaupun belum resmi di umumkan olel pihak PES sendiri, kita optimis bahwa PES 2012akan muncul sebentar lagi, bagi yang mau mengupgrade komputernya untuk menyambutPES 2012 saya akan berikan spesifikasi minimun untuk gem tersebut.


Pes 2012 Pc System requirements:
1. OS: Windows XP Service Pack 3 and above. Latest Direct X installed
2. Video Cards: Nvidia GeForce 6600 and up, ATI Radeon X1300 and above
3. RAM: 1 GB minimum. 2GB recommended
4. Pentium 2.4 GHZ single core
5. Available Disk Space of around 8 GB
6. Sound Cards: DirectX 9c and up compatible
Read More ->>

Selasa, 15 Mei 2012

SEJARAH CIREBON


Raja Jaya Dewata menikah dengan Nyai Subang Larang dikarunia 2 (dua) orang putra dan seorang putri, Pangeran Walangsungsang yang lahir pertama tahun 1423 Masehi, kedua Nyai Lara Santang lahir tahun 1426 Masehi. Sedangkan Putra yang ketiga Raja Sengara lahir tahun 1428 Masehi. Pada tahun 1442 Masehi Pangeran Walangsungsang menikah dengan Nyai Endang Geulis Putri Ki Gedheng Danu Warsih dari Pertapaan Gunung Mara Api.
Mereka singgah di beberapa petapaan antara lain petapaan Ciangkup di desa Panongan (Sedong), Petapaan Gunung Kumbang di daerah Tegal dan Petapaan Gunung Cangak di desa Mundu Mesigit, yang terakhir sampe ke Gunung Amparan Jati dan disanalah bertemu dengan Syekh Datuk Kahfi yang berasal dari kerajaan Parsi. Ia adalah seorang Guru Agama Islam yang luhur ilmu dan budi pekertinya. Pangeran Walangsungsang beserta adiknya Nyai Lara Santang dan istrinya Nyai Endang Geulis berguru Agama Islam kepada Syekh Nur Jati dan menetap bersama Ki Gedheng Danusela adik Ki Gedheng Danuwarsih. Oleh Syekh Nur Jati, Pangeran Walangsungsang diberi nama Somadullah dan diminta untuk membuka hutan di pinggir Pantai Sebelah Tenggara Gunung Jati (Lemahwungkuk sekarang). Maka sejak itu berdirilah Dukuh Tegal Alang-Alang yang kemudian diberi nama Desa Caruban (Campuran) yang semakin lama menjadi ramai dikunjungi dan dihuni oleh berbagai suku bangsa untuk berdagang, bertani dan mencari ikan di laut.
Danusela (Ki Gedheng Alang-Alang) oleh masyarakat dipilih sebagai Kuwu yang pertama dan setelah meninggal pada tahun 1447 Masehi digantikan oleh Pangeran Walangsungsang sebagai Kuwu Carbon yang kedua bergelar Pangeran Cakrabuana. Atas petunjuk Syekh Nur Jati, Pangeran Walangsungsang dan Nyai Lara Santang menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci Mekah.
Pangeran Walangsungsang mendapat gelar Haji Abdullah Iman dan adiknya Nyai Lara Santang mendapat gelar Hajah Sarifah Mudaim, kemudian menikah dengan seorang Raja Mesir bernama Syarif Abullah. Dari hasil perkawinannya dikaruniai 2 (dua) orang putra, yaitu Syarif Hidayatullah dan Syarif Nurullah. Sekembalinya dari Mekah, Pangeran Cakrabuana mendirikan Tajug dan Rumah Besar yang diberi nama Jelagrahan, yang kemudian dikembangkan menjadi Keraton Pakungwati (Keraton Kasepuhan sekarang) sebagai tempat kediaman bersama Putri Kinasih Nyai Pakungwati. Stelah Kakek Pangeran Cakrabuana Jumajan Jati Wafat, maka Keratuan di Singapura tidak dilanjutkan (Singapura terletak + 14 Km sebelah Utara Pesarean Sunan Gunung Jati) tetapi harta peninggalannya digunakan untuk bangunan Keraton Pakungwati dan juga membentuk prajurit dengan nama Dalem Agung Nyi Mas Pakungwati. Prabu Siliwangi melalui utusannya, Tumenggung Jagabaya dan Raja Sengara (adik Pangeran Walangsungsang), mengakat Pangeran Carkrabuana menjadi Tumenggung dengan Gelar Sri Mangana.
Pada Tahun 1470 Masehi Syarif Hiyatullah setelah berguru di Mekah, Bagdad, Campa dan Samudra Pasai, datang ke Pulau Jawa, mula-mula tiba di Banten kemudian Jawa Timur dan mendapat kesempatan untuk bermusyawarah dengan para wali yang dipimpin oleh Sunan Ampel. Musyawarah tersebut menghasilkansuatu lembaga yang bergerak dalam penyebaran Agama Islam di Pulau Jawa dengan nama Wali Sanga.
Sebagai anggota dari lembaga tersebut, Syarif Hidayatullah datang ke Carbon untuk menemui Uwaknya, Tumenggung Sri Mangana (Pangeran Walangsungsang) untuk mengajarkan Agama Islam di daerah Carbon dan sekitarnya, maka didirikanlah sebuah padepokan yang disebut pekikiran (di Gunung Sembung sekarang)
Setelah Suna Ampel wafat tahun 1478 Masehi, maka dalam musyawarah Wali Sanga di Tuban, Syarif Hidayatullah ditunjuk untuk menggantikan pimpinan Wali Sanga. Akhirnya pusat kegiatan Wali Sanga dipindahkan dari Tuban ke Gunung Sembung di Carbon yang kemudian disebut puser bumi sebagai pusat kegiatan keagamaan, sedangkan sebagai pusat pemerintahan Kesulatan Cirebon berkedudukan di Keraton Pakungwati dengan sebutan GERAGE. Pada Tahun 1479 Masehi, Syarif Hidayatullah yang lebih kondang dengan sebutan Pangeran Sunan Gunung Jati menikah dengan Nyi Mas Pakungwati Putri Pangeran Cakrabuana dari Nyai Mas Endang Geulis. Sejak saat itu Pangeran Syarif Hidayatullah dinobatkan sebagai Sultan Carbon I dan menetap di Keraton Pakungwati.
Sebagaimana lazimnya yang selalu dilakukan oleh Pangeran Cakrabuana mengirim upeti ke Pakuan Pajajaran, maka pada tahun 1482 Masehi setelah Syarif Hidayatullah diangkat menajdi Sulatan Carbon membuat maklumat kepada Raja Pakuan Pajajaran PRABU SILIWANGI untuk tidak mengirim upeti lagi karena Kesultanan Cirebon sudah menjadi Negara yang Merdeka. Selain hal tersebut Pangeran Syarif Hidayatullah melalui lembaga Wali Sanga rela berulangkali memohon Raja Pajajaran untuk berkenan memeluk Agama Islam tetapi tidak berhasil. Itulah penyebab yang utama mengapa Pangeran Syarif Hidayatullah menyatakan Cirebon sebagai Negara Merdeka lepas dari kekuasaan Pakuan Pajajaran.
Peristiwa merdekanya Cirebon keluar dari kekuasaan Pajajaran tersebut, dicatat dalam sejarah tanggalDwa Dasi Sukla Pakca Cetra Masa Sahasra Patangatus Papat Ikang Sakakala, bertepatan dengan 12 Shafar 887 Hijiriah atau 2 April 1482 Masehi yang sekarang diperingati sebagai hari jadi Kabupaten Cirebon

Read More ->>

Sejarah Indramayu

Kabupaten Indramayu termasuk wilayah Propinsi Jawa Barat, dengan wilayah darat seluas 20.006,4 km² merupakan wilayah yang cukup luas. Sumberdaya alamnya dari laut, sawah, dan hutan. Secara historis, selama ini Indramayu menyatakan diri memiliki akar sejarah dari Jawa Tengah (Bagelen) melalui tokoh Arya Wiralodra. Dalam beberapa sumber, ada yang menyebut tokoh ini utusan Demak (abad ke-16), ada pula yang menyebut berasal dari Mataram (abad ke-17). Akar sejarah itulah yang menjadikan Indramayu bukanlah wilayah Sunda, meskipun berada di Jawa Barat yang mayoritas dihuni suku Sunda dan berbahasa Sunda. Meski demikian, perkembangan selanjutnya menunjukkan Indramayu juga tidak serupa dengan realitas sosio-kultur Jawa Tengah. Ada semacam sosio-kultur tersendiri yang “bukan Jawa” dan “bukan pula Sunda”. Bagi orang Indramayu, menyebut orang Jawa Tengah dan Jawa Timur adalah “wong wetan”, sedangkan orang Pasundan adalah “wong gunung”. Sosio-kultur Indramayu itu menunjukkan karakter yang sebangun dengan Cirebon. Secara akar sejarah pula, beberapa daerah di Indramayu berkaitan dan banyak dipengaruhi kerajaan lain di sekitarnya, seperti Cirebon dan Sumedanglarang. Jika yang disebut wilayah kekuasaan Wiralodra sebagai Kabupaten Indramayu seperti sekarang, tampaknya harus ditelisik lebih dalam. Ketika dinasti Wiralodra berkuasa hingga pertengahan abad ke-19, peristiwa politik dan keagamaan di Pulau Jawa sangat dinamis. Dimulai dari runtuhnya Majapahit sebagai simbol kebesaran agama Hindu pada tahun 1527, dinamika itu tampak dengan kemunculan kerajaan Islam Demak, yang mampu berpengaruh pada Cirebon dan Banten, serta dikuasainya Sundakelapa dari Pajajaran. Simbol kebesaran Hindu lainnya dalam diri Pajajaran pun runtuh juga. Gegap gempita politik dan kekuasaan seperti itu sedikit banyak, tentu saja, memiliki pengaruh yang kuat pada Cimanuk (Indramayu) sebagai wilayah kecil yang berada pada pusaran dinamika itu. Berakhirnya era Hindu dan bangkitnya Islam juga menyentuh kehidupan sosio-religi di wilayah tersebut. Ketika Mataram menguasai Jawa Barat selama 57 tahun (1620-1677), pengaruh kekuasaan itu sangat jelas pada daerah-daerah yang sekarang bernama Ciamis, Tasikmalaya, Sumedang, Bandung, Cirebon, dan beberapa lainnya sebagai wilayah imperium Mataram. Ketika Wiralodra dianggap sebagai pendiri Indramayu dan 7 Oktober 1527 sebagai hari kelahiran Indramayu, legitimasi itu dilakukan pada era kekinian, yakni berdasarkan Perda No. 02/1977 tanggal 24 Juni 1977. Nama Indramayu sebagai wilayah kabupaten, sebenarnya berasal dari nama wilayah kecamatan yang berada di kota (Sindang – Kota Indramayu), titik sentral kekuasaan dinasti Wiralodra. Menurut Babad Dermayu yang ditulis tahun 1900, beberapa keturunan Wiralodra menjabat beberapa jabatan penting di beberapa wilayah sebagai demang maupun rangga, misalnya Raden Marngali Wirakusuma (Demang Bebersindang, mungkin maksudnya Sindang), Nyayu Wiradibrata (rangga), Nyayu Malayakusuma (Demang Plumbon), Nyayu Hekakusuma (Demang Anjatan), Nyayu Suradisastra (ulu-ulu), Nyayu Hanjani (mantri tanah), Raden Kalid Wiradaksana (Demang Lohbener), Raden Prawiradirja (Demang Losari), Raden Wirasentika (Demang Lohbener), Nyayu Sastrakusuma (Jututulis Demang Brengenyeber), Nyayu Patimah (Demang Lelea), Raden Wirasaputra (demang). Klaim bahwa nama wilayah sekabupaten dengan nama Indramayu, sebenarnya dilakukan pemerintah Hindia Belanda pada abad ke-19, seperti dalam Regerings Almanak voor Nederlands Indie 1869 untuk menetapkan seorang bupati dengan wilayah kabupaten. Pendapat ini sejalan dengan Dasuki (1977). Kalau yang dimaksud dengan daerah Dermayu dalam babad itu adalah suatu tempat yang sekarang merupakan lokasi desa Dermayu, mungkin ada benarnya. Akan tetapi kalau yang dimaksud dengan daerah Indramayu ialah daerah yang sekarang merupakan daerah jurisdiksi Indramayu, sudah pasti tidak benar, sebab bertentangan dengan pemberitaan dari beberapa sumber lain yang menyatakan bahwa sebelum Wiralodra datang ke daerah Indramayu, di beberapa bagian daerah ini sudah ada masyarakat yang berbudaya. Yang terjadi pada era dinasti Wiralodra, Indramayu cenderung identik pada wilayah yang sekarang disebut sekitar Sindang, Kota Indramayu, hingga Lohbener. Pada kurun waktu sebelumnya atau bersamaan, wilayah lain memiliki nama yang berbeda, dengan tokoh pendiri (Ki Gede) yang berbeda pula. Beberapa hal bisa menjadi argumentasi bahwa Kabupaten Indramayu bukanlah “Dermayu”-nya Wiralodra, dulu. Naskah Wangsakerta menguraikan tentang mazhab-mazhab dalam Islam yang berkembang di Pulau Jawa, termasuk wilayah Cirebon dan Indramayu seperti dituliskan dalam Pustaka Rajya-rajya i Bhumi Nusantara, parwa 2 sargah 4. Beberapa Ki Gedeng (Ki Gede) dari Indramayu ada yang dikategorikan menganut mazhab Syafi’i, tetapi ada pula yang Syi’ah yang diajarkan Syeh Lemahabang. Penganut mazhab Syafi’i adalah Ki Gedeng Krangkeng, Ki Gedeng Dermayu, Ki Buyut Karangamapel, Pangeran Losarang, Ki Gedeng Srengseng, dan Ki Gedeng Pekandangan, sedangkan mazhab Syi’ah dianut oleh Ki Gedeng Junti. Data seperti itu bukan hanya menyiratkan tentang perkembangan mazhab dalam Islam yang dianut para tokoh masyarakat (Ki Gedeng, Ki Buyut) di Indramayu, akan tetapi lebih dari itu menyiratkan adanya deskripsi kesejajaran tokoh-tokoh tersebut. Penyebutan nama-nama Ki Gedeng atau Ki Buyut di enam daerah tersebut tampak memiliki derajat yang sama. Antara Krangkeng, Dermayu, Karang Ampel, Srengseng, Pekandangan, dan Junti tidak ada hirarkis. Hal itu bisa diinterprestasikan di wilayah-wilayah tersebut dipimpin oleh Ki Gedeng atau Ki Buyut secara otonom dan tidak menginduk pada Ki Gedeng atau Ki Buyut di sekitarnya. Ki Gedeng Dermayu tidak membawahi Ki Gedeng Krangkeng, Karang Ampel, Srengseng, Pekandangan, dan Junti, tetapi berdiri sejajar. Acuan kurun waktunya adalah masa hidup Sunan Gunungjati dan Syeh Lemahabang (abad ke-16). Sebelumnya kesejajaran itu tampak pada cerita Ciungwanara pada zaman Pajajaran yang menyebut-nyebut nama Indramayu, Junti, Anjatan, dan Kandanghaur, seperti dalam Waosan Babad Galuh (Serengrana, 1280 H). Naskah lain pada zaman Pajajaran menyiratkan adanya tokoh lain dan wilayah lain di Indramayu yang sudah disebut keberadaannya sejak abad ke-15, seperti dalam buku Sunan Rahmat Suci Godog (Deddy Effendy-Warjita, 2006). Disebut-sebut nama Raden Khalipah Kandangaur yang bersahabat dengan Kean Santang (putra Prabu Sri Baduga Maharaja dengan Subang Larang). Kean Santang adalah adik Pangeran Walangsungsang (Cakrabuana) dan Nyi Mas Rarasantang (ibunda Sunan Gunungjati). Pengaruh Sunan Gunungjati, baik secara religi dan sosio-politik, amat kuat pada hampir seluruh tokoh (Ki Gede) dari desa-desa kuno di Indramayu. Sekitar 70 Ki Gede, dari Sukra hingga Kertasemaya, dari Bantarwaru hingga Sindangkerta, dimakamkan di sekitar makam Sunan Gunungjati di Nur Giri Ciptarengga, Gunung Sembung, Cirebon (Bambang Irianto, makalah 2007). Adanya makam Habib Keling di Desa Tanjakan Kecamatan Krangkeng Kabupaten Indramayu menjadi catatan tersendiri, apakah Habib Keling identik dengan Dipati Keling. Jika ya, menegaskan lagi adanya relasi itu, sebab Dipati Keling merupakan sahabat Sunan Gunungjati yang ikut serta dalam penyerangan ke Batavia tahun 1526. Ia salah seorang komandan, di samping beberapa komandan lainnya seperti Dipati Cerbon, Dipati Cangkuang, dan Faletehan. Sebelumnya Dipati Keling bersama 98 pengikutnya menyatakan masuk Islam dan bergabung bersama Sunan Gunungjati. Diperkirakan, Dipati Keling berasal dari India, karena kulitnya hitam seperti orang Keling (Sunardjo 1983: 53,81). Sangat mungkin, yang dimaksud makam tersebut adalah petilasan, sebab makam Dipati Keling terdapat di Astana Gunungjati Cirebon berdekatan dengan Sunan Gunung Jati. Jejak lain di Indramayu yakni adanya makam Pangeran Suryanegara yang terdapat di Desa Bulak Kecamatan Jatibarang dan memiliki keturunan di Indramayu (Raffan S. Hasyim, makalah 2007). Suryanegara adalah adik bungsu Dipati Cerbon I atau Pangeran Swarga (putra Pangeran Pasarean dengan Ratu Mas Nyawa). Latar tersebut merupakan dinamika penyebaran Islam yang dilakukan Sunan Gunungjati dan para pengikutnya, baik ke pegunungan maupun ke pesisir. Naskah Purwaka Caruban Nagari menyebutkan wilayah pesisir tersebut hingga ke pedalaman Karawang dan Dermayu. Saat Sunan Gunungjati bertahta, jangkauan Cirebon dalam penyebaran Islam mencapai 2/3 daerah di Jawa Barat. Jejak-jejak Cirebon secara sosio-kultural di beberapa desa yang ada di tiga kecamatan (Krangkeng, Karangampel, Juntinyuat) hingga kini masih terasa. Yang paling kentara adalah dalam penggunaan kosakata "isun" (saya) masih tetap dipergunakan (terutama di beberapa desa di Kecamatan Krangkeng, perbatasan Kabupaten Cirebon-Indramayu) dibandingkan penggunaan "reang" atau "kita" sebagaimana digunakan secara umum di wilayah kecamatan lainnya. Begitu pula penggunaan kata tunjuk untuk menunjukkan yang jauh, agak dekat, dan dekat, masih tetap menggunakan lah, lih, dan luh. Bukan kah, kih, dan kuh. Pamakaian kosakata seperti itu serupa yang dipakai di Cirebon. Dalam buku ”Mengenal Kasultanan Kasepuhan Cirebon” (2004) malah ditegaskan, pada abad ke-14 batas pemukiman baru di Lemahwungkuk (cikal bakal Caruban/Cirebon) yang dipimpin Ki Gede Alang-alang yang diangkat Raja Pajajaran, Prabu Siliwangi adalah Kali Cipamali (sebelah timur), Cigugur Kuningan (sebelah selatan), pegunungan Kromong (sebelah barat), dan Junti (sebelah utara). Jejak Indramayu secara geografis memang hanya diketemukan pada naskah-naskah dengan derajat sebagai sumber sekunder, seperti sumber-sumber di atas, kecuali Regerings Almanak voor Nederlands Indie 1869. Hal ini bisa jadi merupakan sebuah fenomena kelangkaan sumber primer, karena “terjepit”-nya masa-masa dinamis itu. Penulis sejarah Jawa Hindu yang telah silam umumnya sudah berhenti menulis, jauh sebelum sampai pada tokoh Senopati; sedangkan ahli sejarah Kompeni hampir tidak menyadari bahwa para pahlawan negerinya telah mengganggu perkembangan suatu kerajaan Jawa yang perkasa. Meski dalam historiografi tradisional menyebutkan nama Dermayu mulai digunakan sejak abad ke-16 atau ke-17, siapa sangka jika sebagian wilayahnya (sebelah timur sungai Cimanuk) pada jaman pemerintahan Belanda abad ke-19, nama yang muncul adalah Bengawan Wettan, salah satu dari lima keregenan (regentschappen) di bawah Keresidenan Cheribon, selain Kereganan Cheribon, Madja, Galo, dan Koeningan (besluit van commissarissen-general over Nederlandsch-Indie, tanggal 5 Januari 1819). Keregenan Bengawan Wettan meliputi sungai Singapura, dari muara sungai di laut ke arah atas sampai jalan pos di Desa Jamblang, jalan ini ke barat sampai sungai Cimanuk di penyebrangan di Karangsambung, selanjutnya sungai Cimanuk ini sampai muaranya ke laut. Peristiwa “Pemberontakan Bagus Rangin” di sekitar Bantarjati-Jatitujuh pada awal abad ke-19 agaknya menyiratkan wilayah tersebut sebagai bagian Kabupaten Indramayu (Bengawan Wettan). Jika dilihat pada era kekinian, sebenarnya wilayah Indramayu sekarang selain bertambah, sebenarnya juga berkurang. Di bagian tenggara Kabupaten Indramayu, sekitar perbatasan Kecamatan Bangodua, beberapa desa bukan lagi milik Indramayu. Dulu, konon Kecamatan Jatitujuh dan sekitarnya pernah masuk dalam wilayah Kabupaten Indramayu. Kini di wilayah perbatasan kultural Sunda-Jawa itu sudah masuk Kabupaten Majalengka. Tidak heran jika hubungan emosional desa-desa di sekitar itu tetap ada. Ragam budaya, seperti jenis kesenian dan adat-istiadat pun menampakkan kecenderungan yang seragam. Tarling, topeng, wayang kulit –yang merupakan jenis kesenian Jawa-pesisir Cirebon-Indramayu, biasa dinikmati masyarakat Jatitujuh, yang juga menikmati kesenian Sunda. Dasuki (1977) menjelaskan setelah tahun 1910 daerah Indramayu sebelah barat sungai Cimanuk dibagi dalam enam kedemangan, yaitu Kedemangan Kandanghaur, Losarang, Pamayahan, Pasekan, Bangodua, Jatitujuh, dan Lelea. Adapun daerah Indramayu sebelah timur Cimanuk dibagi dalam tiga kawedanan yaitu Kawedanan Indramayu, Karangampel, dan Sleman (Jatibarang). Di wilayah selatan, barat daya hingga barat Kabupaten Indramayu, yang berbatasan langsung dengan wilayah kultural Sunda, pengaruh kebudayaan Sunda sangat kuat. Di sebagian desa di Kecamatan Terisi hingga Haurgeulis dan Gantar, pengaruh itu malah memiliki asal-usul penduduk yang memang berasal dari wilayah Sunda. Komunikasi sosial dan kultural itu terjalin hingga kini menjadi sebuah akulturasi yang "nDermayu". Sebenarnya ada pengaruh kultur lain yang juga amat kuat, yang ada di wilayah barat (seperti di Kecamatan Bongas, Patrol, Sukra, Anjatan, dan Haurgeulis). Pengaruh itu berasal dari pesisir utara-barat Jawa Tengah (Tegal-Brebes). Mungkin lebih tepatnya bukan pengaruh, tetapi lebih sebagai “urbanisasi” awal abad ke-20 melalui jalur kereta api dari Tegal-Brebes ke wilayah barat Indramayu. Penduduk dari wilayah timur Indramayu juga pada kurun waktu yang sama melakukan “urbanisasi” ke barat, seperti dari Krangkeng, Juntinyuat, Sliyeg, Kertasemaya, dan kecamatan lainnya. Saat itu wilayah barat memiliki daya tarik tersendiri, terutama tanah yang masih perawan dan ketersediaan air yang melimpah dengan adanya bendungan yang dibangun pemerintah kolonial Belanda dekade 1920-an. Pengaruh bahasa Jawa dialek Tegal-Brebes dan logat wilayah timur Indramayu masih terasa hingga kini. Yang menjadi catatan tersendiri adalah wilayah Kecamatan Lelea dan Kandanghaur, yang secara geografis terlalu “jauh” untuk dipengaruhi kultur Sunda. Hingga kini pengaruh Sunda di beberapa desa di dua kecamatan tersebut cukup kuat. Meski dalam beberapa kosa kata tidak sama dengan bahasa Sunda di wilayah Pasundan dan cenderung dianggap kasar, bahasa Sunda tetap digunakan dalam keseharian di wilayah tersebut. "Sunda-Lea" dan "Sunda-Parean" (maksudnya bahasa Sunda yang digunakan di Lelea dan Parean/Kandanghaur), menjadi keunikan tersendiri dalam khazanah bahasa Sunda dan bisa jadi merupakan bahasa Sunda sempalan yang hidup di lingkungan Jawa pesisir. Fenomena ini, tentu saja, bukan terjadi dengan sendirinya. Sesuatu yang ada sekarang, hampir pasti memiliki keterkaitan dengan masa lalu. Masa lalu itu adalah akar sejarah. Selanjutnya daerah kekuasaan Sumedang di sebelah utara seperti Kandanghaur, Lelea, dan Haurgeulis (Indramayu), dan Sindangkasih (Majalengka) satu demi satu dikuasai kerajaan Islam Cirebon. Dalam menakulukkan daerah Sindangkasih dan Kandanghaur ini banyak berperan dua orang cucu Sunan Gunung Jati: Pangeran Sentana Panjunan dan Pangeran Wira Panjunan. Daerah Galuh dan Sumedang sendiri tetap merdeka sehingga ditundukkan oleh Sultan Agung Mataram yang berhasil menguasai antara Citanduy dan Cisadane pada tahun 1620 (Rokhmin Dahuri, Bambang Irianto, dan Eva Nur Arofah, 2004). Penjelasan Sumedang pernah menguasai tiga daerah di Indramayu, yakni Kandanghaur, Lelea, dan Haurgeulis setidak-tidaknya tampak pada kultur yang masih lekat hingga kini, yakni masih dipakainya bahasa Sunda. Ketika beralih pada kekuasaan Cirebon, ada peninggalan di Kandanghaur yang bisa jadi berasal dari nama seorang pangeran asal Cirebon, yakni nama desa, Wirapanjunan. Kurun waktu kekuasaan Cirebon atas tiga daerah di Indramayu saat Cirebon mencapai puncak kejayaan, sebagaimana dikemukakan R.A. Kern (1973: 21), yang diperkuat F. de Haan (1912: 33-41) bahwa Cirebon telah berhasil melebarkan wilayah kekuasaan dan sekaligus dapat mengislamkan daerah-daerah pedalaman Sunda, seperti Rajagaluh (1528) dan Talaga (1530) (Rokhmin Dahuri, dkk, 2004: 62). Jangan lupa wilayah sentral Indramayu, tempat dikendalikannya pemerintahan, yakni Kecamatan Indramayu dan Sindang, merupakan lingkungan “keraton” dan “ibukota” yang dibangun Wiralodra. Wilayah yang secara arkeologis cenderung sebagai kota pemerintahan bercorak Islam-Jawa. Sungai Cimanuk yang membelah kedua kecamatan itu juga, sebenarnya dulu menjadi urat nadi perekonomian dan militer, yang hilirnya adalah pelabuhan. Kompleks pecinan dan perkampungan arab yang ada di sekitarnya menjadi penanda tersendiri akan keberadaan masa lalu itu. Satu hal yang belum dikemukakan adalah wilayah pesisir Indramayu yang kini terbentang di 12 kecamatan, dengan panjang pantai mencapai 114 km. Dengan keluasan Laut Jawa yang menjadi gerbangnya, sangat mungkin menjadi pintu masuk akan berbagai pengaruh sosial, ekonomi, budaya, dan agama dari berbagai daerah dan bangsa. Agak serius untuk mendiskusikan hal ini lebih jauh. Yang jelas adanya kerajinan batik di Paoman yang motifnya serupa dengan Lasem (Rembang), kerajinan gerabah di blok Anjun (Paoman) dan Wirapanjunan (Kandanghaur) juga memiliki nama sama dengan lokasi kerajinan gerabah di Panjunan (Cirebon). Hal di atas bisa dihubungkan dengan kedatangan Syarif Abdurrakhman beserta ketiga adiknya di Cirebon pada tahun 1464. Mereka adalah putra-putra Sultan Sulaeman dari Baghdad, Irak, yang berguru kepada Syeh Nurul Jati dan Mbah Kuwu Cakrabuana. Mereka kemudian menetap di Panjunan. Nama panjunan itu berasal dari anjun, barang-barang keramik yang terbuat dari tanah liat. Beliau besarta pengikutnya menyebarkan agama Islam, membangun mesjid, dan juga mengerjakan sebuah karya anjun yaitu membuat barang-barang keramik dari tanah liat. Dari sinilah tempat itu disebut panjunan. Beliau juga membuat taman lelangu / taman untuk istirahat dan penenang hati memandang ke alam bebas / panorama gunung Ciremai. Dari sinilah tempat itu disebut Plangon (kawasan Kecamatan Sumber Kabupaten Cirebon). Di sini pulalah makam beliau (P.S. Sulendraningrat, 1975). Rumah-rumah penduduk di Junti yang bergaya Majapahit menandaskan keterpengaruhan itu. Nama-nama desa di pesisir Indramayu juga menyiratkan keterpengaruhan nama dari luar. Antara Karangampel-Balongan, misalnya, ada lima nama yang juga memiliki kesamaan dengan nama di Jawa Timur, yaitu seperti Kamal, Tuban, Sampang, Lombang, dan Majakerta. Keterkaitan dengan Majapahit ini bisa jadi karena ekspansi kerajaan besar tersebut ke seluruh nusantara saat Prabu Hayam Wuruk berkuasa dengan Mahapatih Gajah Mada pada abad ke-14. Data yang paling dekat adalah pada abad ke-15 atau antara taun 1491 dan 1492, yaitu adanya perkawinan Sunan Gunung Jati dengan Nyai Ageng Tepasari, putri Ki Ageng Tepasan, mantan penguasa di daerah Majapahit yang kemudian ikut Raden Patah, Sultan Demak. Dari perkawinan Sunan Gunung Jati dengan Nyi Ageng Tepasari dikaruniai dua anak, yaitu Nhay Ratu Ayu dan Pangeran Mohamad Arifin (Pangeran Pasarean) (Dasuki 1977; Sunardjo, 1983). Melihat wilayah sosio-kultural yang terpotret sekarang ini, sekali lagi, mustahil adalah sebuah kejadian yang berdiri sendiri. Ada pengaruh dari benang merah masa lalu yang bernama sejarah. Masalah yang muncul, apakah benar Indramayu, yang terbentang dari Sukra-Gantar hingga Kertasemaya-Krangkeng, yang pernah berhubungan dengan Pajajaran, Demak, Cirebon, Sumedanglarang, Galuh, Banten, Mataram, bahkan bangsa asing, yang memiliki latar sosio-kultur yang tidak “tunggal”, hanyalah pengaruh Wiralodra semata? Selama ini pengungkapan sejarah di Indramayu lebih banyak berdasarkan terjemahan dan tafsir naskah-naskah tradisional, yang merupakan sumber sekunder. Sebuah pengungkapan yang cenderung hanya sampai pada ranah dan perspektif sebagai sejarah peteng, yang bisa ditafsirkan sebagai kegelapan sejarah karena belum ada relasi yang tegas dengan sumber-sumber primer.
Read More ->>

my profile

Foto Saya
nhasuka's blog
Lihat profil lengkapku